Wednesday, July 4, 2007

REQUIEM SOCRATES

---- catatan untuk Apologia Plato


seorang sofis, katanya, pernah membisikkan: "Keabadian benda-benda,
dirangkum pada butir-butir kecil yang pernah kita khayalkan.
Mirip puncak piramid menyembunyikan titik lenyap gelombang ruh
ke dalam wujud satu, satu menjadi tiada."


Ranum zaitun, dia mencecap ilham
Murung menyusupi kabut tebal logika
Episode tubuh dan kehancuran;
Lidah merapal, genggaman mulai rapuh,
Remah-remah keyakinan berubah debu meluruh;
Pemberkahan hanya menghasilkan luka.


Tak akan ada yang sia-sia, begitu ia pernah berharap
Kota akan menyimpan selarik komedi
Tentang seorang tua yang dihujat;
Karena berdiri sebagai saksi Athena yang membatu,
Karena mencincang hantu-hantu.
Mempersembahkan teka-teki; orasi di atas meja judi.


Lalu, seperti kepada dinding Labyrinthos, dia bertanya-tanya:
"Siapa yang harus bertanggung-jawab, semisal catatan tak menyimpan
yang mungkin dan tak mungkin? Ataukah juga anak-anak kita masih memagari
kepastian pepatah masa lalu dan prasasti-prasasti?"


Dinding mahkamah menebar anyir keculasan
Membungkam legenda tanah pengembara makna.
Tujuh puluh tahun, tentu saja;
Mata tetap nyalang di bawah terkaman besi
Gerombolan tiran berjubah dan wangi
Siang itu mungkin angin merinding dalam gemerincing tanda


Tuduhan-tuduhan dibaca, bibir mencibir, peri-peri mangkir
Lakon dimainkan untuk tema lama, pengkhianatan purba
Mata ketiga yang diperabukan
Palung kata-kata, denah metamorfosa neraka
Namun Helios dari atas kereta tak perlu menerka
Kapan matahari terkesiap dan meraba-raba



"Demi anjing," ia bersumpah,
"hanya kebenaran dan kebenaran bisa aku simpulkan;
ternyata manusia yang paling berkilau semuanya picik, dan kebijaksanaan muncul
lewat kepala-kepala dari kerak keterasingan. Petualangan Herakles, seperti itulah bisa kuumpamakan, pencarian pembuktian tak bisa disangkalnya orakel.
Apakah tidak sebaiknya aku tinggal begini saja; tanpa pengetahuan serta
kepicikan seperti mereka; memiliki cahaya dan mengagumi kegelapan sekaligus?"


Dingin melumuri wajah demos, perayaan yang samar
Langit mengirim burung nazar mengiringi nalar yang teriris
Mantra-mantra salah arah;
Nasib seperti lintah lekap menghisap,
Upacara-upacara penyucian menguap
Waktu meninggalkan jejak untuk bidikan panah Artemis.


Kedai, fontana, tangga kuil yang berkejaran dan mengalir
Adalah sisa sulur-sulur ingatan tentang abad penuh plakat
Tentang khotbah tanpa penutup;
Pernah, suatu musim panas yang resah
Menghidangkan percakapan begitu basah
Sebab kesejatian tak harus kesenyapan atau kiamat


'Tuan-tuan sekalian," mungkin ia menggerutu atau melucu, "aku adalah lalat
yang dikaruniakan Dewa diatas punggung kuda. Negara tanpa gigitan mahluk
seperti aku akan terlelap dan lamban. Namun orang-orang bukan juga seperti binatang yang mesti digembalakan."


Petak lantai menyingkap gelisah
Kain-kain pucat guardian
Seperti mengais alasan
Namun pegasus terlanjur menjemput
Ada yang tak kembali sore menjelang temaram
Musik penghabisan atau juga lumut kuil
Merangkak mengibaskan asap Tartaros,
Harpa berdawai kamboja mengusap langit lamat-lamat
Athena dalam rengkuh nujum
Menggeliat terjebak jaring maklumat;
Kebenaran kehabisan waktu untuk ditahbiskan


Hanya sempat pada tetes penghabisan jam pasir
Janggutnya terlihat bergetar;
"Sekarang kepada sahabat-sahabat yang telah mengusulkan pembebasan
dan hakim-hakimku yang benar: seperti tidur bahkan tiada terganggu
mimpi. Maut itu kenikmatan. Keabadian kecuali malam yang tunggal.
Siapa yang tak mau dikorbankan untuk mendapat kesempatan bercakap-cakap
Bersama Orpheus dan Musaios, Hesiodes dan Homeros.
Ah, sekiranya ini benar, biarlah aku mati berulang kali. Aku sendiri sangat ingin
Bertemu Palamedos, Aias putera Telamon, atau pahlawan dari masa silam yang
Menjalani hukuman mati korban putusan tak adil.
Aku juga berkesempatan melanjutkan dialegesthai tentang sophrosyne.
Wahai para hakim, apa yang tak hendak diberikan untuk kehormatan bertukar-pikiran dengan panglima perang Troya, dengan Oedipus atau Sysiphus."


Cawan disucikan dalam kilauan Olympia
Koral Laut Tengah tersaput jingga, akhir tanpa akhir.
"Tibalah saat kita berpisah: aku menjelang mati dan kalian menempuh hidup.
Mana yang lebih baik, hanya Dewa yang tahu."



-2001-
SELAMAT SORE, SURABAYA!

Mempersoalkan kebudayaan dalam ruang lokal sama dengan mengendurkan simpul fasisme sedikit lebih longgar. Tapi kebanggaan macam apa yang bisa dinikmati dari kebuntuan diskursif kota ini? Berkembangnya kemalaratan politik dan kebiadaban tanpa sesal melubangi keberadaan dengan cara yang kurang layak, keputus-asaannya serentak dengan harapan-harapanya. Simbol kemakmuran dibentuk dari fasad-fasad mengerikan, etalase, perayaan ekshibisionis,lengkap dengan kecanggungan intelektual-intelektualnya. Kesopanan dalam tradisi kesehatan finansial dan bedah plastik teknokrasi ketinggalan zaman. Namun kita belum hancur.

Memaknai waktu periodik kebudayaan analog dengan durasi mental organik individu dalam partikularitasnya. Bukan bermaksud menyederhanakan, akan tetapi sejak akhir abad 19 itulah akar ilmu kemanusiaan.Biologi,ekonomi dan linguistik merupakan sintesis yang menyatu dan menyemangati kajian sosial, artinya sama dengan mempertimbangkan produk-produk kebudayaan keluarannya. Modernisme semacam ini sedikit perlu jika kita ingin menjelaskan subyek dengan lebih masuk akal tentang apa yang sedang terjadi. Sistem, logika yang bersandar imanen dalam kemandirian spasi temporal pemaknaannya, membuat jenjang positivistik tanpa membiarkan klasifikasi dan fondasionalisme pencerahan mencampuri urusan tafsiran strukturnya. Itulah modern. Dan Surabaya menampilkan kemodernannya dengan ekspresi labil dan setengah jalan hingga meredupnya kritisisme dianggap tidak mengkhawatirkan. Tak ada kekritisan, cuma sensasi yang tak selesai. Untuk ini kita akan mengesahkan pernyataan Baudrillard; “ mereka yang tidak lagi memperlihatkan kekuatan negatif apa pun (progresif, kritis, revolusioner), konsekwensinya negativitas mereka hanya menjadi fakta atas ketidakterjadiannya. Bertul-betul mengganggu.”

Bisa dikatakan, urban yang diam dalam kesibukan inderawi tapi mustahil mencapai tujuan-tujuan historisnya. Keributan yang jatuh dalam lubang hitam arus modal dan laporan keuangan, hampir sama tidak beruntungnya dengan prestise borjuasi lama. Konstruksi sosio-historis yang berulang-ulang tapi tak menghasilkan apa-apa. Absurditasnya adalah parodi gagal dan kosmologinya diturunkan lewat halte-halte trasportasi akhir sejarah. Mari kita catat lagi ambisi peniruan yang menjadi bagian rencana besar pemerintah daerah untuk mengejar tenggat mengatasi kebiadaban. Festival-festival dirias dengan aroma kontradiksi kultural kapitalisme, tapi bahkan untuk mencapai kontradiksi itu tidak mampu untuk dirumuskan. Lanskap pameran kekosongan dikunjungi pejalan-pejalan kaki kota yang telah berkompromi dengan konsumsi tanpa kekritisan. Seni adalah iklan Pendapatan Asli Daerah. Tidak ada yang bisa disalahkan, waktunya berputar tidak terlalu cepat tetapi ruang yang tertahan pada batas-batas imajinernya. Perkembangan teritori kapital yang tidak maklum atas tujuan-tujuan imanennya. Kemoderan serba tanggung. tapi kita belum hancur.

Apakah filsafat mampu menggantikan impian spritual masyarakat yang sempat menjadi ini?, Jawabannya tergantung sejauh mana logika kapital menerima tarika-tarikan penafsiran yang sekarang seperti sudah menjadi alamat alternatif setelah kesesatan-kesesatan estetik dengan arogansinya yang tragis bisa mengurangi reaksi-reaksi mereka sejalan dengan maksud yang lebih bernilai. Dengan dalih menghindari esensi, sebagaimana sekarang menjadi mode zaman, metafisika penciptaan baru dibutuhkan untuk menyebar dan memusat pada inti identitas hipotetik yang hibrida. Hanya itu yang dapat dilakukan filsafat untuk bisa masuk ke dalam epidemi ini. Membayangkan modifikasi kultur urban yang lain, seprti coena cypriani rahib-rahib akademis dan konsul-konsul kreatif , yang telah diutus warisan-warisan kemodernan, yangs elama ini hanya menunggu kejumudan ini semakin membengkak. Kefanatikan yang kenes lebih mirip usaha mempermalukan diri namun dilakukan dengan cara defensif. Kareana tidak ada lagi strategi yang dianggap legal maka perayaannya berubah menggulung kewarasan sendiri lewat caci maki yang tidak jelas artinya. Penafsirannya klise, seperti panggung drama yang hanya dimengerti satu arah. Tidak ada yang bersedia lebih resah, aktor-aktor dan sutradaranya terjebak dalam kuburan makna. Masyarakat seperti ini tak akan mengerti aksiologi. “Menunjukkan hal yang penting, yang penuh energi, mengalir, hasrat dalam keadaan yang tidak terdamaikan.. yang penting adalah metamorfosisnya, bukan obyek,” itu yang dikatakan Lyotard. Dan itu pop. Sementara kenaifan tafsir pekerja seni kita bahkan tidak dapat menjelaskan penolakan paradigmatis bahkan untuk sisi dialektiaka pencerahan sederhana saat berhadapan dengan estetika massal ini. Canggung tapi terikat dalam harga diri. Kita tidak hidup di zaman Plato, tapi Demokritus. Tidak ada transendensi, yang diperlukan adalah imanensi. Kemodernan yang lain, kematian yang lain, kelahiran yang lain, hantu yang lain. Penyempurnaan rasa sakit ini mesti diperjelas sebelum terapi kritik dapat diberikan. Pencapaian simbol urban yang tidak saja anakronik tapi juga traumatik akibat pendefinisian yang mengalami pembekuan tentang kota ini. Hanya ada satu pilihan dan itu telah ditetapkan oleh kekuasaan sedemikian rupa lewat mandat demokratis meski kita memilih untuk menjadi “Yang-Lain.” Untuk rencana pengikisan terhadap kehendak kolektif ini yang dibutuhkan adalah transgresi. Namun seperti apa?

Penarikan diri dari publik sekaligus harapan untuk diterima sudah menjadi watak tipikal avant-garde, hanya ada individu dan bentuk adalah imanen. Kemodernan ini perlu diselesaikan. Nalar yang sekedar mencari keriuhan perlu disimpan sejenak, karena hanya dengan cara ini kita bisa menyelesaikan kemandegan. Regenerasi yang terburu-buru menyebabkan tercecernya kekayaan eidetik karena kesiapan belum terbentuk. Hanya ada keriuhan. Mereka yang cuma bisa menerka-nerka akan mendapati kota ini sekedar derita di papan bawah, tetapi penglihatan yang luas akan mendapati kota ini sebagai janji. Entah terpenuhi atau tidak. Aura kota tidak terpancar dengan pengulangan melainkan penguraian unsur-unsurnya dan kemudian dibentuk kembali menjadi keutuhan identitas.